DESKRIPSI
Pemilihan kepala daerah (Pilkada) merupakan pilar penting dalam sistem demokrasi, karena memberikan ruang bagi masyarakat untuk menentukan pemimpin yang akan mengelola pemerintahan daerah. Dalam idealitasnya, Pilkada harus dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Namun, kenyataan di lapangan sering kali bertolak belakang dengan prinsip-prinsip tersebut. Salah satu permasalahan yang paling sering muncul adalah praktik money politic atau politik uang, yang turut mencederai nilai- nilai demokrasi dan mengganggu kebebasan pemilih. Studi kasus yang dilakukan di Pilkada Ponorogo tahun 2024 mengungkap bahwa praktik money politic masih cukup marak terjadi. Praktik ini mencakup pemberian uang tunai, sembako, pulsa, bahkan janji fasilitas atau proyek sebagai bentuk imbalan kepada masyarakat agar memilih kandidat tertentu. Dalam konteks ini, pemilih menjadi objek utama yang dirugikan karena haknya untuk memilih secara merdeka telah dikompromikan oleh insentif yang bersifat manipulatif. Secara yuridis, praktik money politic jelas bertentangan dengan hukum. Dalam Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, pasal 187A menyatakan bahwa setiap orang yang dengan sengaja menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih dapat dikenai sanksi pidana penjara dan denda. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu juga mengatur ketentuan yang sama. Selain itu, instrumen hukum lainnya seperti Peraturan Bawaslu dan Peraturan KPU turut mempertegas pelarangan dan sanksi terhadap tindakan politik uang. Namun, efektivitas perlindungan hukum tersebut masih belum optimal. Dari hasil wawancara dan observasi di lapangan, ditemukan bahwa salah satu hambatan utama dalam penegakan hukum terhadap money politic adalah kesulitan pembuktian. Banyak pemilih yang menerima uang secara diam-diam dan enggan melapor karena takut atau merasa tidak memiliki kepentingan langsung dalam proses hukum. Di sisi lain, aparat penegak hukum dan pengawas pemilu, seperti Bawaslu, sering kali terkendala keterbatasan personel dan sumber daya. Masyarakat juga memiliki kontribusi besar dalam menentukan apakah praktik money politic akan terus terjadi atau dapat diminimalisasi. Sayangnya, tingkat literasi hukum sebagian masyarakat masih rendah, sehingga mereka tidak menyadari bahwa menerima uang dalam konteks pemilu adalah tindakan yang melanggar hukum. Bahkan, dalam situasi ekonomi tertentu, masyarakat cenderung melihat pemberian uang atau barang sebagai “rezeki” ketimbang pelanggaran hukum. Ini menunjukkan bahwa perlindungan hukum tidak bisa berdiri sendiri, tetapi perlu dibarengi dengan pendekatan sosial, budaya, dan ekonomi yang menyentuh akar permasalahan. Untuk meningkatkan perlindungan hukum bagi pemilih, pendekatan preventif harus diutamakan. Hal ini dapat dilakukan melalui pendidikan politik dan hukum yang berkelanjutan, pelibatan tokoh masyarakat dan pemuda dalam kampanye anti money politic, serta peningkatan transparansi dan keberanian dari aparat penegak hukum untuk menindak tegas pelaku, tanpa pandang bulu. Partisipasi aktif masyarakat juga sangat penting, baik dalam bentuk pelaporan, pengawasan, maupun penolakan terhadap bentuk- bentuk politik uang. Dengan memperkuat perlindungan hukum secara komprehensif baik dari sisi regulasi, penegakan, maupun kesadaran publik diharapkan pelaksanaan Pilkada ke depan dapat berjalan lebih bersih, adil, dan demokratis, serta benar-benar mencerminkan kehendak rakyat, bukan sekadar hasil dari transaksi politik.